Lembaga penelitian Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) melakukan survei terkait nasib pekerja di Indonesia akibat pandemi virus corona atau Covid 19. Hasilnya, survei dilakukan pada 9 sampai 12 April 2020 ini menunjukan sebanyak 77 persen masyarakat Indonesia merasa terancam penghasilannya berkurang akibat wabah Covid 19. Selain itu, ada 25 persen masyarakat atau kurang lebih 50 juta warga dewasa menyatakan tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok.
Survei dilakukan terhadap 1.200 responden yang diwawancarai melalui telepon yang dipilih secara acak dengan margin of error 2,9 persen. "Proporsinya juga membesar hampir dua kali lipat dibanding temuan survei dua minggu sebelumnya, 41 persen," tambahnya. Survei juga menunjukan, 67 persen rakyat Indonesia menyatakan kondisi ekonomi semakin buruk saat pandemi Covid 19.
Sebanyak 24 persen yang menyatakan tidak ada perubahan ekonomi akibat pandemi Corona dan yang menyatakan ekonominya lebih baik sebesar 5 persen. Kemudian, 15 persen warga menyatakan tabungan yang mereka miliki hanya cukup untuk beberapa minggu ke depan. Sementara itu, 15 persen warga lainnya menyatakan tabungan mereka hanya cukup untuk satu minggu.
Sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu sektor yang paling terpukul akibat corona virus disease (Covid 19). Khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), menyebabkan banyak warga yang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan , mencatat 1,6 juta pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan.
PHK dan kebijakan merumahkan pekerja dilakukan rata rata lantaran bisnis sebagian perusahaan makin tertekan. ”Dari beberapa laporan para menteri ada 1,6 juta warga yang di PHK dan dirumahkan,” kata Doni. Sementara Data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta per 9 April 2020 mencatat sudah 223.511 pekerja yang di PHK dan dirumahkan. Mereka berasal dari 30.425 perusahaan.
Akibat banyaknya itu, pemerintah pun berencana memulangkan warga yang kehilangan pekerjaan ke kampung halamannya saat Lebaran mendatang. Rencana tersebut diungkapkan oleh Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto. Ia mengaku mendapatkan informasi itu langsung dari Kepala Gugus Tugas Percepatan Penangan , , saat dirinya melakukan kunjungan ke BNPB, Senin (13/4) lalu. ”Rencana pemerintah memulangkan warga Jabodetabek yang kehilangan pekerjaan akibat . Pelaksanaannya bersamaan dengan Lebaran Idul Fitri. Sebagaimana disampaikan Kepala Gugus Tugas Penangan , waktu pertemuan di kantor BNPB," kata Yandri kepada wartawan, Selasa (14/4/2020).
Berkaitan dengan itu, Yandri meminta pemerintah berhati hati dan tetap mengedepankan kewaspadaan penyebaran yang akan terjadi. Karena itu, masyarakat yang meninggalkan Jabodetabek wajib dipastikan bebas dari coronavirus. Yandri menganjurkan pemerintah perlu terlebih dahulu mendata dengan saksama dan melakukan swab test bagi masyarakat Jabodetabek yang akan dipulangkan. Setelah hasil keluar, politikus PAN itu meminta pemerintah membekali warga tersebut dengan surat keterangan bebas .
"Pendataan bisa melalui RT/RW. Selanjutnya, pemerintah menyiapkan fasilitas swab, ini semua untuk mencegah penyebaran ," tegas dia. Di sisi lain Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi sudah melakukan survei untuk menggali sudut pandang para kepala desa terkait mudik Lebaran 2020. Hasilnya, 89,75 persen kepala desa menyatakan tidak setuju warganya yang berada di kota mudik Lebaran 2020. Sementara 10,25 persen kepala desa lain menyatakan setuju warganya mudik.
Alasan utama kepala desa tidak setuju warganya mudik adalah karena alasan kesehatan sebesar 88,38 persen, alasan sosial sebesar 45,51 persen dan alasan ekonomi sebesar 43,18 persen. ”Jika merujuk pada fakta ini, aspirasi kepala desa perlu didengar oleh warga yang sedang berada di kota agar tidak mudik ke desa pada Lebaran 2020," kata Kepala Pusat Data dan Informasi, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Ivanovich Agusta dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (14/4). Meski begitu, ucapnya, para kepala desa masih ragu mengeluarkan kebijakan melarang atau hanya sebatas mengimbau warganya untuk tidak mudik.
Berdasarkan survei, ada 49,86 persen kepala desa memilih hanya dalam bentuk imbauan dan 50,14 persen kepala desa memilih dalam bentuk larangan. ”Ini artinya opini 50 50 mencuatkan keraguan efektivitas dua jenis kebijakan itu. Keraguan inilah yang harus segera diisi dengan keputusan lebih tegas dari pimpinan pada level yang lebih tinggi," kata dia. Survei Kementerian Desa dan PDT ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif berupa survei dengan sampel yang diambil secara acak dari desa per provinsi, dengan jumlah sampel sebanyak 3.931 kepala desa di 31 provinsi di Indonesia. Margin of error survei yakni 1,31 persen.
"Survei ini kami lakukan pada 10 12 April 2020 yang bermaksud agar lebih mudah memahami peluang kesiapan desa dalam menghadapi kemungkinan migrasi warganya dalam satu atau dua bulan mendatang,” kata Iva.