Buron kasus pembobolan Bank BNI, Maria Pauline Lumowa, telah tiba di Indonesia, Kamis (9/7/2020). Ia menjadi satu di antara tersangka pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, mengatakan pencarian Maria adalah proses yang panjang dan tertutup.
"Beliau adalah pembobol BNI bersama teman temannya pada 2003 senilai Rp 1,7 triliun," ungkapnya, dikutip dari siaran langsung YouTube , Kamis. Yasonna menyebut, ada sejumlah hambatan dalam melakukan ekstradisi tersebut. "Selama proses ini ada negara Eropa yang meminta agar beliau tidak diekstradisi."
"Ada juga upaya hukum semacam suap dari pengacara, tapi Pemerintah Serbia tetap committed (berkomitmen)," jelasnya. "Walaupun kita belum punya perjanjian ekstradisi dengan Serbia, tapi dengan hubungan baik kita bisa menjalani proses hukum sebagaimana mestinya," lanjut Yasonna. Ia mengatakan, pemerintah dan penegak hukum akan mencari tahu soal harta yang disimpan Maria di negara lain termasuk Belanda.
"Mudah mudahan apa yang kita lakukan ini baik untuk bangsa," ungkapnya. Diketahui, pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu. Dilansir , aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Dikutip dari keterangan resmi Kemenkumham di Instagram @kemenkumhamri, perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
Pemerintah pun merespons cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. Keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa.