Majelis hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait aturan menyalakan lampu bagi sepeda motor. Sidang Pengucapan Putusan ini digelar di Ruang Sidang Panel MK, Kamis (25/6/2020) Sidang Perkara Nomor 8/PUU XVIII/2020 ini diselenggarakan dengan penerapan pola penjarakan fisik (physical distancing) guna mendukung pencegahan penyebaran Covid 19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
“Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman terhadap putusan perkara yang dimohonkan Eliadi Hulu (Pemohon I) bersama Ruben Saputra Hasiholan Nababan (Pemohon II), seperti dilansir laman MK RI, Kamis (25/6/2020). Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan Nababan, menguji materi Pasal 107 Ayat (2) dan Pasal 293 Ayat (2) UU LLAJ ke MK. Mereka mempertanyakan kewajiban menyalakan lampu utama sepeda motor yang diatur dalam Pasal 107 Ayat (2) UU LLAJ tersebut. Eliadi merasa dirugikan karena ditilang polisi pada Juli 2019 akibat tidak menyalakan lampu utama sepeda motor.
Dia juga mempersoalkan aktivitas Presiden Joko Widodo pada 4 November 2018 pukul 06.20 WIB di mana Jokowi sedang mengendarai motor di Tangerang dengan kondisi lampu motor mati. Melalui pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ yang didalamnya memuat aturan semua kendaraan bermotor tanpa terkecuali wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu. Pada kondisi ini setiap kendaraan pun harus menyalakan lampu utama guna saling mengantisipasi kendaraan lain yang berada di sekitarnya saat melintas. Sementara itu, ketentuan untuk wajib menyalakan lampu bagi sepeda motor seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tentu memiliki alasan keamanan tersendiri.
Siang hari situasi terang sehingga setiap kendaraan dapat saja mengantisipasi kendaraan lain, termasuk kendaraan di belakangnya melalui kaca spion. Namun, dengan ukuran dan bentuk sepeda motor yang mudah melakukan akselerasi di jalan dan bentuknya yang relatif lebih kecil, seringkali pengendara lain tidak bisa mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di belakang maupun dari depan dengan jarak yang masih relatif jauh. Dengan kewajiban pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari, maka pengendara kendaraan lain di depan motor tersebut dengan mudah dapat mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di sekitarnya
“Maka jelaslah dari Pasal 107 ayat (1) dengan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ ada penekanan khusus terkait perbedaan pada keadaan gelap dan keadaan terang. Dalam keadaan gelap, semua pengendara kendaraan wajib menyalakan lampu utama. Adapun pada keadaan terang hanya sepeda motor lah yang wajib menyalakan lampu utama." "Dengan demikian, menurut Mahkamah, makna “siang hari” haruslah dilekatkan dengan keadaan pada saat hari sedang terang. Oleh karena itu, dalam konteks norma a quo tidak diperlukan pembagian pagi siang petang atau sore untuk memaknainya,” jelas Suhartoyo terhadap para Pemohon yang mendalilkan Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Sehubungan dengan permohonan para Pemohon yang meminta agar frasa “siang hari” dimaknai sepanjang hari, Mahkamah berpandangan bahwa hal tersebut tidak bersesuaian dengan kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon.
Di samping itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terjadinya ambiguitas pemberlakuan Pasal 107 UU LLAJ. Sebab, Pasal 107 UU LLAJ, baik ayat (1) maupun ayat (2) dimaksudkan pembentuk undang undang untuk memerintahkan pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama, baik pada saat gelap maupun terang. “Apabila frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ perlu diubah menjadi “sepanjang hari”, menurut Mahkamah hal ini justru tidak tepat karena di samping menjadi ambigu, juga akan terjadi tumpang tindih dengan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ,” ujar Suhartoyo.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ, sambung Suhartoyo, apabila frasa “siang hari” diganti dengan frasa sepanjang hari, maka akan terjadi tumpang tindih dan redundansi serta saling tidak bersesuaian dengan norma Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ. Karena kata “sepanjang hari” sebagaimana yang dimaksudkan para Pemohon dapat bermakna siang maupun malam. Padahal pengaturan sanksi untuk pelanggaran penggunaan lampu utama saat gelap dan kondisi tertentu, telah diatur dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ, baik kualifikasi pelanggaran maupun ancaman sanksi yang ditetapkan. Suhartoyo meneruskan hal krusial dapat terjadi apabila dilakukan pengubahan ini adalah adanya kerancuan yang muncul saat aparat ingin melakukan penegakan hukum.
Ketika seorang pengendara sepeda motor tidak menyalakan lampu utama pada malam hari, maka aparat akan menemukan kesulitan berkenaan dengan kualifikasi pelanggaran yang dilakukan pengendara sepeda motor. Suhartoyo menambahkan Mahkamah berpendirian makna frasa “siang hari” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ telah jelas dan memberikan kepastian hukum. "Sehingga jikalau masih ada pendapat yang menganggap pagi dan sore atau petang hari adalah berbeda dengan siang hari, hal demikian semata mata hanya permasalahan anggapan yang didasarkan pada kelaziman istilah penyebutan saja, bukan permasalahan yang berdasarkan pada kajian teori, doktrin, dan argumentasi ilmiah,” tambah Suhartoyo.