Lifestyle

Model Jenggot dan Kumis Pria Ternyata Bisa Memungkinkan Seseorang Tertular Virus Corona, Apa Saja?

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengeluarkan infografis yang menampilkan berbagai model jenggot dan kumis pria. Infografis tersebut menunjukkan bagaimana model jenggot yang berbeda dapat membuat masker wajah dan respirator tidak bekerja. Dilansir Metro , grafis ini awalnya dirilis pada 2017 lalu.

Namun, seorang pejabat CDC memunculkan infografis kembali ke permukaan setelah penyebaran virus Corona di Amerika Serikat. Dalam infografis, terdapat 35 model jenggot dan kumis yang ditampilkan. 12 di antaranya disebut menjadi gaya yang ideal dan tidak menghambat kinerja masker wajah dan respirator.

Mereka adalah clean shaven, soul patch, side whiskers, pencil, toothbrush, lampshade, zorro, zappa, walrus, painters bruch, chevron, dan handlebar. Model di atas memungkinkan masker menutupi hidung dan mulut dengan benar. Kumis dan jenggot model goatee (janggut kambing), horseshoe, dan villain juga dianggap aman.

Namun, rambut tidak boleh melewati permukaan pembatas respirator. Sementara itu, gaya jenggot yang panjang seperti Fu Manchu, mutton chops, dan full beard (janggut penuh) tidak direkomendasikan. Gaya lain yang dilarang dan dapat menimbulkan masalah adalah chin curtains, extended goatees, circle beards, hulihee, French fork, dan ducktail.

Sebab, gaya tersebut memungkinkan untuk mengganggu pemasangan masker dengan tepat. Hal itu dapat membuat partikel udara menerobos masuk. Infografis diterbitkan untuk memberitahu masyarakat yang ingin mengganti gaya kumis atau jenggot mereka.

Masyarakat perlu mempertimbangkan model yang aman dan nyaman ketika menggunakan masker. Apalagi, jika wabah Covid 19 sedang merebak di negara yang didiami. CDC mengatakan, seseorang tidak perlu memakai respirator jika sudah sehat atau terbebas dari virus corona.

Namun, hal itu dapat krusial bagi petugas medis dan siapa pun yang menunjukkan gejala seperti flu. Seperti yang dilakukan di Southampton General Hospital. Kepala rumah sakit mengirim email kepada para staf medis berupa infografis dan perintah mencukur.

Hal itu dilakukan sebagai tindakan pengendalian infeksi. Namun, beberapa di antaranya tetap berjanggut karena alasan agama atau budaya. Para profesional kesehatan mengatakan, tindakan pencegahan sehari hari seperti membawa hand sanitizer adalah cara terbaik untuk melindungi dari penularan penyakit.

Menurut pedoman National Health Service (NHS), menutupi mulut dan hidung dengan tisu atau lengan saat batuk atau bersin lebih dianjurkan daripada menggunakan tangan. Setelah itu, segera lah membuang tisu pasca menggunakannya. Modern Therapeutics, sebuah perusahaan bioteknologi yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, AS, telah mengirimkan vaksin COVID 19 gelombang pertama.

Vaksin dibuat hanya dalam waktu 42 hari setelah SARS CoV 2 dirilis oleh peneliti China pada pertengahan Januari 2020. Dilansir Time , botol pertama dikirim ke National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), bagian dari National Institutes of Health (NIH) di Bethesda, AS. Vaksin tersebut akan siap diujicobakan ke manusia mulai April mendatang.

Vaksin Moderna dikembangkan dalam waktu singkat karena didasarkan pada metode genetik yang relatif baru. Metode genetik baru tersebut tidak memerlukan pertumbuhan virus dalam jumlah besar. Sebagai gantinya, vaksin dikemas dengan mRNA, materi genetik yang berasal dari DNA dan membuat protein.

Moderna memuat vaksinnya dengan mRNA yang mengkode protein virus Corona yang tepat. Kemudian, vaksin disuntikkan ke dalam tubuh. Sel sel kekebalan di kelenjar getah bening dapat memproses mRna dan mulai membuat protein dengan cara yang tepat bagi sel sel kekebalan.

"mRNA benar benar seperti molekuk perangkat lunak dalam biologi," kata Presiden Moderna, Stephen Hoge. "Vaksin kamu seperti program perangkat lunak bagi tubuh. Kemudian membuat protein yang dapat menghasilkan respons kekebalan," lanjutnya. Itu berarti, metode vaksin dapat ditingkatkan dengan cepat dalam waktu yang singkat.

Percobaan ini adalah yang pertama kalinya untuk menguji vaksin yang mengobati COVID 19. Pada April mendatang, percobaan akan dipimpin oleh tim dari University of Nebraska Medical Center. Pasien pertama yang akan diujicobakan untuk studi ini adalah seorang penumpang kapal pesiar Princess Diamond yang positif terinfeksi virus Corona.

Penumpang tersebut telah dibawa kembali ke Amerika Serikat. Sementara itu, pasien lain yang didiagnosis positif COVID 19 dan kini dirawat di rumah sakit juga akan menjadi bagian dari percobaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *